17.10.10

Jerit Terakhir

Menangis akhirnya dengan jerit mengkhawatirkan. Puncak kesedihannya ia ungkapkan dengan pingsan. Tak mampu kesadarannya memilihkan kata-kata, tak mampu menunjukan cara baik untuk menyatakan perasaan yang kehilangan.

Bulan terang. Angin semilir. Daun-daun saling berjabat dan risik lirih. Binatang malam berlagu merdu merayu. Suasana tetap senyap. Dari jauh terdengar samar seperti biasa, seruling bambu mengalun berayun-ayun, seolah mengerti bahwa ada rasa ingin ditimang-sayang. Sementara isakkan sisa-sisa tangis masih bersahutan, antara Nenek, Bapak, Adik yang menatap sang Kakak yang terbujur dan memejam mata dengan senyum.

Ibu yang biasanya tegar menebang belantara derita, kini pingsan sudah setelah jeritnya. Lama, mungkin hampir 70 menit, si Ibu tersadar dalam keheningan karena dilelahkan oleh kesedihan. Si Adik berusia delapan tahun itu nampak sudah nampak dewasa diantara kepilan dan kegetiran, mengambilkan air untuk Ibunya, ''minum, Bu!'', titahnya.

…,

Delapan tahun lebih Ibunya telah tiada, wafat 35 hari setelah anak sulungnya. Warsinih kini telah 17 tahun 10 bulan. Dua bulan mendatang ia beusia 18 tahun, dan sang Ayah meninggal karena sakit campuraduk. Sebelum meninggal, Warsinih yang membiayai pengobatanya. Meskipun jauh dari cukup perawatannya, namun sang Ayah mengangumi keikhlasan anak terakhirnya dalam merawatnya. Neneknya juga senantiasa mendoakan cucu tercintanya agar bahagia. Meskipun mereka tau bahwa Warsinih seorang pelacur, namun cinta mereka tak pernah pudar.

Kini Warsinih tinggal di rumah yang wajar, bukan rumah kardus dipinggiran gundukan sampah. Neneknya ia manjakan dengan perawat yang ia sewa khusus untuk si Nenek. Namun, Warsinih tetap pelacur. Itu saja yang ia mampu. Tidak tau jalan lain menuju lumbung rezeki. Maklumlah, ia “anak sampah”, Warsinih tak pernah bersekolah. Ia hanya tau jumlah uang recehan dan seabreg kebutuhan harian yang tak pernah tercukupi.

...-,

Peraturan Pemerintah. SatpolPP membubarkan tempat Warsinih mengais rezeki. Ia sempat diajari dosa dan keterampilan alakadarnya di Panti Sosial. Namun, sebelum sampai ke panti, ia sempat menikmati beringasnya syahwat kantoran. Dan, pelajaran dosa dan keterampilannya akan segera berkarat. Warsinih pun tetap, tak mengerti bagaimana memanfaatkan keterampilan yang sempat ia pelajari. Memang, wajar Warsinih bingung, toh yang sarjana saja bingung! Ia pun tetap sebagai pelayan syahwat, meskipun tempat yang sekarang lebih luas dan terbuka, di jalanan.

Warsinih tak tau neneknya meninggal. Keluar dari Panti Rehabilitasi, ia pulang membawa obat untuk Neneknya tersayang. Ia meminjam uang kepada temannya, yang selamat dari Razia tempo hari, untuk membeli obat. Sesampainya di rumah, ia pingsan setelah teriak kehilangan. Pengasuhnya tak lagi dirumahnya. Tetangga yang menceritakan kejadian slama ia di Panti, yang dititipi kuci rumah oleh pengasuh neneknya.

Dalam kekalutan sebab kesedihan, ia duduk di tempat ia mangkal. Mekipun Warsinih pemanja syahwat sialan, malam itu ia hanya mencari ketenangan. Ingin ia menitipkan laranya kepada angin malam. Namu, datang pelanggan dan memaksanya. Warsinih tentu menolak dengan sangat. Ia dipaksa. Kemudian ia mencaci, mencaci, mencaci, dicaci, mencaci, dicaci, mencaci…

Warsinih, sungguh sudah menjadi yatim-piatu. Di pagi ketiga sejak wafatnya sang Nenek, Marsinih ditemukan tergeletak dikolong jembatan. Sedikit memar di punggung dan pipinya. Ditemukan hanya mengenakan baju yang depannya telah sobek. 3/4nya telanjang. Entah bagaimana nasib rumah dan kisah kematiannya di tangan aparat. Yang pasti, tiga orang pemulung, sekeluarga, mendengar tiga kali jeritan. ''Seperti jeritan yang kehilangan gairah'', tambahnya nyeleneh sambil cengengesan.

18 Oktober 2009 Parigimulya

15.10.10

Bila Mungkin

apa lah yang tiada mungkinnya
sementara harapan tak pernah sirna
mungkin kini lebih baik kiranya
sebab nanti belum juga tiba

bila mungkin hendak pergi
kemanakah langkah ini

Bandung 7 Februari 2009

8.10.10

Rahasia

lebih dari itu, kekasih
dalam mata ku ada pandangan
dalam pandangan ada rahasia

lebih dari itu, kekasih
dalam kata ku ada pengertian
dalam pengertian ada rahasia

Bandung Kopo 29 Januari 2008

Jalang


Perutmu menuntut
Tanpa tau mesti bagaimana
Sekolah memang megah tak murah
Untunglah tau harta serupiah
Dan kau gadaikan untuk itu

Tubuhmu memajang
Seperti dungu tak tau malu
Pasrah atas setiap sentuhan
Ditawar-tawar kemudian dibuang
Dan tanpa tau mesti bagaimana

24 September 2009

6.10.10

kepadamu

yang ku hormati, waktu!
waktu! waktu!
kau kah itu?
adakah kabar nanti untuk ku?

21 juli 2008 kapaka


4.10.10

Layang-layang


Aku bersiul. Bersiul seperti kebiasaan di kampungku. Turun-temurun diajarkan siulan begitu untuk memanggil angin. Kami harap angin yang baik hati dan bersemangat brkenan datang.

Aku pandangi lekat-lekat. ''terbanglah engkau. Terbang dengan baik. Siulan ini demi keindahanmu.''

Rambutku mengibas wajah. Dan layang-layang ku lepaskan. ''aku pegangi talinya. Terbanglah dengan indah!''

Senyumku memaksa untuk disunggingkan. Teriak masa silam bisingkan lamunan. ''aku berhak mengaku 'telah dewasa' kini'', desahku dalam benak.

Senja ini sangat pengertian. Anginnya manjakan khayalku. Kutatap langitnya seolah cerita silam tergambar di sana. ''pasti Bunga Ashar di halaman sedang mekar. Aku akan segera pulang!''

''jangan terlalu keras menariknya. Jangan juga terlalu lemah.'' Aku ingat, ketika aku belajar terbangkan layang-layang. Dengan senang hati aku diajari. ''ada masanya mengulur talinya. kemudian tarik kembali. Demikian berulang-ulang!.''

Polos aku bertanya, ''untuk apa begitu?''

''mengimbangi angin. Di atas sana angin lebih kencang. Dan angin tak pasti arah. Jika tak begitu, layang-layangmu akan jatuh.'' Aku diam, mencoba memahami. ''lakukan dengan lembut agar terbangnya indah.''

Tawa kecil dari para perempuan memotong lamunanku. Aku pekakan pendengaran. Aku perhatikan agar memahami. ''tawa itu dari jauh. Bising tentunya. Tapi kudengar begitu halus. Seperti layang-layang kah mereka?''

Sejak kecil, Ayahku mengajari arti penghormatan kepada Ibu dan perempuan. Hingga kini aku perlu belajar tentang itu. Aku diceritai kelembutan dan kekerasan perempuan. Aku juga dapati cerita tentang cara-cara semestinya memperlakukan perempuan. Tapi aku tak faham sangat makna cerita-cerita itu. Tetapi juga...''aku akan terus belajar memahami.''

Kuhempaskan nafas dengan asap yang baru saja kuhisap. Seteguk kopi juga kunikmati. Dan gemulai perempuan menghampiri. kemudian duduk ia seperti murid yang baik. Menatapku dengan pancaran semacam harapan ingin di mengerti. Dimengerti sebagai wanita yang dihormati para Rosul dan Nabi-nabi.

Aku menatpnya memberikan kepastian. Aku dekatkan lamunanku dan kubisikan kepadanya, Kugenggam engkau seperti layang-layang yang sempat kuterbangkan. Demikian karena artimu bagiku.

Matahari izin undur. Ia sapaikan kepadaku dengan wakilnya, cahaya merah bara kehitaman.

24 juli 2009 lembang

3.10.10

Rapuh Kami

Aku datang. Aku membawa gelisah nestapa. Meskipun aku sedikit saja mengetahui, tetapi, Kau, Tuhan, aku pun menyaksikan raut murung teraniaya bencana. Di Teve, di koran, di radio, ragam rupa bencana ditenarkan. Dan terngianglah, pun dalam benakku.


Aku ingin mendengar jawabanMu menyoal itu! Sungguhkah itu karena kejengkelanMu? Sungguhkah itu dendamMu? Karena cecerean dosa di atas hamparan jagatMu? Apakah dosa itu mencuri atau melacur atau merampas atau membunuh atau memfitnah atau menggunjing atau hasud atau takabur atau berjudi atau menyama-nyamakan atau.... Atau, Tuhan, dosa itu adalah abei? Abei kepada sebahagian ayatMu, sebab terlena?


Aku beranikan diri bertanya demikian, Tuhan, karena banyak juga hambamu yang lantang berkata bahwa: itu adzab agar yang terkena bencana segera bertobat dan bersumpah tidak mengulangi kelakuan dosa lagi. Yang bikin aku penasaran, mengapa mereka yang nampaknya masih rajin mengingatMu, meskipun mulutnya yang mengingat. Mengapa bukan mereka yang menginjak-injakMu dengan nalar, hati, dan mulutnya saja dulu r6yuobnjoYUHBUilgbhjwguhlahui xhjhblhqbg bhdsjakghbiwleghbldnsjo;%$^*^*(UV(OYHU *oyuhi


Tuhan, mengertilah, bukan bermaksud mengabeikan geliat alam disekitaran, tetapi cerita surgaMu sungguh bagus dan membuai impian. Cerita nerakaMu yang mengerikan pun membawa sirna sebahagian kesadaran bahwa apa yang dipijak dan segenap yang hidup di atasnya, juga ayatMu.


Aku ingin tau jawabanMu! Kelirukah jika aksara dalam mushaf itu kubacai dan dihafalkan, kemudian kufikirkan, kemudian ku gumamkan dengan lantang, kemudian ku indahkan dengan nyanyian, kemudian ku ukir dan ku sampaikan cerita surga dan nerakaMu? Atau keliru karena hanya itu saja, Tuhan? Atau, Tuhan...?


(mengingat bencana-bencana yang diingatkan si gempa 7.6sr Padang, dan lainnya.)

Parigimulya 10 Oktober 2009