3.10.10

Rapuh Kami

Aku datang. Aku membawa gelisah nestapa. Meskipun aku sedikit saja mengetahui, tetapi, Kau, Tuhan, aku pun menyaksikan raut murung teraniaya bencana. Di Teve, di koran, di radio, ragam rupa bencana ditenarkan. Dan terngianglah, pun dalam benakku.


Aku ingin mendengar jawabanMu menyoal itu! Sungguhkah itu karena kejengkelanMu? Sungguhkah itu dendamMu? Karena cecerean dosa di atas hamparan jagatMu? Apakah dosa itu mencuri atau melacur atau merampas atau membunuh atau memfitnah atau menggunjing atau hasud atau takabur atau berjudi atau menyama-nyamakan atau.... Atau, Tuhan, dosa itu adalah abei? Abei kepada sebahagian ayatMu, sebab terlena?


Aku beranikan diri bertanya demikian, Tuhan, karena banyak juga hambamu yang lantang berkata bahwa: itu adzab agar yang terkena bencana segera bertobat dan bersumpah tidak mengulangi kelakuan dosa lagi. Yang bikin aku penasaran, mengapa mereka yang nampaknya masih rajin mengingatMu, meskipun mulutnya yang mengingat. Mengapa bukan mereka yang menginjak-injakMu dengan nalar, hati, dan mulutnya saja dulu r6yuobnjoYUHBUilgbhjwguhlahui xhjhblhqbg bhdsjakghbiwleghbldnsjo;%$^*^*(UV(OYHU *oyuhi


Tuhan, mengertilah, bukan bermaksud mengabeikan geliat alam disekitaran, tetapi cerita surgaMu sungguh bagus dan membuai impian. Cerita nerakaMu yang mengerikan pun membawa sirna sebahagian kesadaran bahwa apa yang dipijak dan segenap yang hidup di atasnya, juga ayatMu.


Aku ingin tau jawabanMu! Kelirukah jika aksara dalam mushaf itu kubacai dan dihafalkan, kemudian kufikirkan, kemudian ku gumamkan dengan lantang, kemudian ku indahkan dengan nyanyian, kemudian ku ukir dan ku sampaikan cerita surga dan nerakaMu? Atau keliru karena hanya itu saja, Tuhan? Atau, Tuhan...?


(mengingat bencana-bencana yang diingatkan si gempa 7.6sr Padang, dan lainnya.)

Parigimulya 10 Oktober 2009

Tidak ada komentar: